Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah saw. bersabda;
تخلقوا بأخلاق الله
Artinya: “Berakhlaklah kamu dengan akhlak Allah”.
Dalam bahasa lain bisa diartikan, “contohlah dan teladanilah sifat-sifat Allah”. Di dalam al-Qur’an, setidaknya Allah swt memperkenalkan 99 akhlak atau sifat-Nya, yang disebut dengan istilah al-Asma’ al-Husna. Nama, sifat, atau akhlak yang diperkenalkan Allah swt, di dalam al-Qur’an tersebut tentu bukan hanya untuk tujuan dibaca, dihafal atau didendangkan. Akan tetapi, lebih jauh dari itu bagaimana semua sifat dan akhlak yng telah diperkenalkan Allah kepada manusia, dicontoh dan diteladani dalam kapasitasnya sebagai makhluk.
Salah satu ayat yang membicarakan tentang akhlak dan sifat Allah swt, adalah surat al-Hasyar [59]: 23
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Artinya: “Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan.”
Dalam ayat di atas, Allah swt memperkenalkan delapan akhlak atau sifat-Nya yang mesti dicontoh dan diteladani oleh makhluk-Nya. Sifat pertama yang diperkenalkan Allah swt, bahwa Dia menyebut diri-Nya sebagai al-Malik yang secara harfiyah berarti Raja atau Pemilik. Setidaknya ada dua hal yang menjadi ciri al-Malik atau Raja. Pertama, bahwa raja adalah yang memberikan perintah atau larangan, menetapkan sesuatu atau mencabut sesuatu. Kedua, raja adalah tempat mengadu bagi semua orang. Begitulah Allah swt sebagi Raja. Bahwa Diri-Nya adalah Dzat Yang memerintah, melarang, menetapkan sesuatu serta mencabut sesuatu dari Makhluk-Nya. Allah memiliki kekuasaan yang mutlak. Begitu juga Allah swt adalah tempat bermuaranya semua pengaduan Makhluk. Dan semua yang datang mengadu kepada-Nya secara pasti akan diberikan jalan keluar dari masalahnya.
Begitulah yang mesti kita contoh dari sifat Allah, bahwa setiap kita juga harus menjadi al-Malik atau raja. Raja bagi dunia, bagi bangsa, bagi masyarakat, bagi keluarga atau setidaknya menjadi raja bagi diri kita sendiri. Menjadi raja dalam diri kita berarti kitalah yang memerintah, melarang, menetapkan atau mencabut sesuatu dari diri kita. Diri kita tidak diperintah oleh hawa nafsu, keinginan-keinginan yang rendah, iblis ataupun syitan.
Begitu juga, bahwa kita juga harus menjadikan diri kita tempat meminta dan mengadu bagi orang lain, disebabkan apa yang kita miliki, seperti harta, ilmu, keahlian dan sebagainya. Tidak salah memang kalau manusia meminta kepada orang lain. Akan tetapi, yang terbaik adalah menjadi tempat meminta seperti yang dikatakan Rasulullah saw. Bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah, begitulah sifat raja atau al-malik.
Kedua, Allah swt. Menyebut diri-Nya sebagai raja yang al-Quddus. al-Quddus secara harfiyah berati suci. Allah sebagai Raja adalah raja yang suci, jauh dari aib, cacat, hal-hal yang kotor, kekejian dan sebagainya. Betapa banyak manusia, yang jikalau menjadi raja adalah raja yang kotor dan keji, seperti disebutkan dalam surat An-Naml [27]: 34
قَالَتْ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً وَكَذَلِكَ يَفْعَلُونَ
Artinya: “Dia berkata: "Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka merusak dan membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat.
Secara kebahasaan, setidaknya ada tiga hal yang menjadikan sesuatu itu quddus (suci). Pertama, kebenaran, kedua, keindahan, dan ketiga kebaikan. Allah sebagai Raja, jika memerintahkan sesuatu kepada makhluk-Nya pastilah perintah Allah itu selalu benar, indah dan kebaikan bagi makhluk tersebut. Jika Allah menetapkan dan memutuskan sesuatu untuk hamba-Nya, pastilah ketetapan dan keputusan Allah itu benar, indah dan berguna atau mengandung kebaikan. Begitulah quddus-Nya Allah.
Inilah sifat yang juga mesti kita ikuti sebagai makhluk, bahwa apapun yang akan kita katakan ataupun yang akan dilakukan mestilah memiliki sifat quddus, bahwa sesuatu itu harus benar, indah dan mengandung kebaikan. Oleh karena itu, jika kita hendak mengatakan sesuatu fikirkanlah apakah sudah benar yang dikatakan itu, atau apakah sudah indah cara kita menyampaikannya, atau seberapa besar manfaat dan kebaikan dari apa dikatakan itu. Begitu juga, jika kita hendak memperbuat sesuatu, maka fikirkanlah apakah perbutan itu sudah benar, sudah indah dan berguna baik bagi diri kita maupun bagi orang lain. Alangkah indahnya kehidupan manusia, jika semua orang selalu mencontoh sifat quddusnya Tuhan dalam setiap perkataan maupun perbuatan mereka. Tidak akan ada pertentangan, permusuhan, percekcokan, perkelahian apalagi pembunuhan jika manusia mencontoh sifat Quddus yang diperkenalkan Allah kepada Makhluk-Nya.
Ketiga, Allah swt. Memperkenalkan dirinya sebagai as-Salam yang secara harfiyah berati selamat, jauh dari cacat, aib dan kekurangan. Begitulah Allah, bahwa apapun yang didatangkan Allah kepada Makhluk-Nya pastilah berupa keselamatan. Andaikata itu berupa musibah, tetap saja itu merupakan kebaikan dan keselamatan. Sesuatu dipandang musibah hanyalah dikarenakan keterbatasan dan ketidakmampuan manusia dalam memahami Allah yang Maha Besar. Sebab, betapa banyaknya hal-hal yang datang kepada manusia menjadikan manusia menangis dan meratap di kala itu, namun setelah waktu berlalu barulah dia menyadari bahwa yang dulu ditangisi adalah kabaikan yang sekarang justru membuat dia menjadi tertawa.
Begitu juga Allah adalah Dzat yang jauh dari aib, cacat dan kekurangan. Dalam diri Tuhan tidak ada sifat, kikir, marah, dendam, malas dan sebagainya. Sebab, itu semua adalah aib dan kekuarangan. Dalam surat ar-Rahman [55]: 29, Allah swt berfirman
يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
Artinya: “Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.
Begitulah Allah swt sebagai Dzat yang selalu punya kesibukan dan tidak pernah mengenal waktu kosong dan luang. Sebagai salah satu bentuk sifat as-Salam, jauh dari aib dan cacat serta kekurangan. Kita mencontoh as-salam Tuhan, bahwa kita berupaya sekuat tenaga membuang segala sifat-sifat negatif dalam diri kita, seperti sifat kikir, marah, dendam, pemalas dan sebagainya.
Keempat, Allah swt, memperkenalkan sifat-Nya sebagai al-Mu’min yang berarti pemberi rasa aman. Allah bukan hanya selamat diri-Nya dari segala aiab dan kekuarangan, tetapi lebih jauh Allah adalah pemberi rasa aman bagai semua makhluk-Nya. Begitulah yang ditegaskan-Nya dalam surat al-Quraisy [106]: 4
الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَءَامَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ
Artinya: “Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.
Begitulah sifat Allah yang semestinya kita contoh, bagaimana kita menjadi makhluk yang mampu memberikan rasa aman kepada siapapun. Seorang yang mukmin tidak hanya sekedar amanah dan bisa dipercaya, tetapi lebih jauh mampu menjamin keamanan kepada siapapun yang meminta rasa aman. Seorang pegawai yang mukmin adalah pegawai yang tidak hanya bisa jujur dalam bekerja ketika diawasi, tetapi dia juga bisa bekerja dengan penuh kejujuran sekalipun tanpa pengawasan. Sebab, dia selalu yakin kalau Allah selalu menyertainya dalam setiap apapun yang dilakukan.
Kelima, Allah memperkenalkan sifat-Nya sebagai al-Muhaimin yang berarti Pengawas dan Pemelihara. Allah bukan hanya pemberi keselamatan dan rasa aman, tetapi Allah juga mengawasi dan memelihara makhluk-Nya. Oleh karena itulah, di alam ini dikenal istilah sunnatullah dan inayatullah. Jika terjadi kecelakaan pesawat terbang, maka sunnatullahnya semua penumpang mati. Akan tetapi, jika ada penumpang yang selamat bahkan tidak terluka sedikitpun, maka ketika itu dia mendapat inayatullah atau pertolongan Allah melalui pengawasan dan pemeliharaannya. Bukankah Allah mengatakan, Bahwa tidak ada satupun jiwa kecuali telah disediakan untuknya malaikat yang akan menjaga dan memeliharanya. Lihat surat at-Thariq [86]: 4
إِنْ كُلُّ نَفْسٍ لَمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌ
Artinya: “tidak ada suatu jiwapun (diri) melainkan ada penjaganya.
Begitulah sifat Allah yang mesti kita contoh, kita tidak hanya mampu memberikan rasa aman, tetapi juga bisa mengawasi dan menjaga apa yang diamanahkan kepada kita. Jika seseorang tidak membuang sampah di sembarang tempat atau dia bersedia memungut sampah di tempat umum, maka dia berhak disebut mukmin. Akan tetapi, jika ada orang lain yang membuang sampah di tempat umum di hadapan matanya dan dia membiarkan saja, maka ketika itu dia tidaklah bisa disebut muhaimin. Sebab dia tidak bisa menjadi pengawas atau pemelihara agar sampah tidak bertebaran di tempat umum. Begitulah bentuk muhaimin yang semestinya kita contoh dari Allah.
Keenam, Allah memperkenalkan sifat-Nya sebagai al-Aziz yang Maha Perkasa dalam artian bahwa Allah adalah Dzat yang tidak pernah bisa dikalahkan. Allah swt, tidak akan pernah dikalahkan oleh siapun dan sampai kapanpun. Begitulah sefat yang juga semestinya kita miliki dalam menjalani kehidupan di dunia ini yang sudah ditakdirkan sebagai kehidupan yang penuh kompetisi dan persaingan. Bagaimana kita dalam persaingan hidup berupaya untuk tidak pernah dikalahkan oleh siapaun, sekalipun dalam setiap persaingan pasti ada yang kalah dan yang menang. Namun, sebagai makhluk yang mencontoh al-aziz nya Allah, berupayalah menjadi makhluk yang tidak pernah dikalahkan oleh siapapun dan kapanpun.
Ketujuh, Allah memperkenalkan sifat-Nya sebagai al-Jabbar yang berarti maha Berkuasa. Al-Jabbar secara harfiyah berarti Yang Kuat dan Memaksa, sehingga kata ini kemudian diartikan sebagai Dzat yang mampu mengalahkan siapapun. Allah bukan hanya tidak terkalahkan, namun juga mampu mengalahkan siapapun. Begitulah sifat yang semestinya kita ikuti sebagai makhluk, bahwa kita bukan hanya makhluk yang tidak terkalahkan, namun mampu mengalahkan siapun yang menjadi pesaing kita. Seseorang yang memiliki sifat al-Jabbar dalam kapasitasnya sebagi makhluk, tidak akan pernah kembali membawa kekalahan. Dia harus pulang dengan membawa kemenangan yang gemilang.
Setelah menyebutkan tujuh sifat yang penuh kemuliaan, Allah menutup sifat-Nya dalam ayat di atas dengan menyebut diri-Nya sebagai al-Mutakabbir yaitu Dzat yang Maha Besar dan Agung. Hal itu berarti, jika semua hal yang disebutkan telah dimiliki seseorang; mampu menjadi raja, suci, selamat, memberi rasa aman, menjaga dan mengawasi, tidak pernah terkalahkan, mampu mengalahkan siapapun, pastilah seseorang akan menjadi orang besar (al-Mutakabbir) dan pastilah semua orang akan mengagumi dan mnghormatinya. Begitulah kenapa ayat ini diakhiri dengan ungkapan ta’ajjub (kagum) kepada Allah dengan ungkapan Subhanallah/ Maha Suci Allh.
Semoga bermanfaat.
تخلقوا بأخلاق الله
Artinya: “Berakhlaklah kamu dengan akhlak Allah”.
Dalam bahasa lain bisa diartikan, “contohlah dan teladanilah sifat-sifat Allah”. Di dalam al-Qur’an, setidaknya Allah swt memperkenalkan 99 akhlak atau sifat-Nya, yang disebut dengan istilah al-Asma’ al-Husna. Nama, sifat, atau akhlak yang diperkenalkan Allah swt, di dalam al-Qur’an tersebut tentu bukan hanya untuk tujuan dibaca, dihafal atau didendangkan. Akan tetapi, lebih jauh dari itu bagaimana semua sifat dan akhlak yng telah diperkenalkan Allah kepada manusia, dicontoh dan diteladani dalam kapasitasnya sebagai makhluk.
Salah satu ayat yang membicarakan tentang akhlak dan sifat Allah swt, adalah surat al-Hasyar [59]: 23
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Artinya: “Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan.”
Dalam ayat di atas, Allah swt memperkenalkan delapan akhlak atau sifat-Nya yang mesti dicontoh dan diteladani oleh makhluk-Nya. Sifat pertama yang diperkenalkan Allah swt, bahwa Dia menyebut diri-Nya sebagai al-Malik yang secara harfiyah berarti Raja atau Pemilik. Setidaknya ada dua hal yang menjadi ciri al-Malik atau Raja. Pertama, bahwa raja adalah yang memberikan perintah atau larangan, menetapkan sesuatu atau mencabut sesuatu. Kedua, raja adalah tempat mengadu bagi semua orang. Begitulah Allah swt sebagi Raja. Bahwa Diri-Nya adalah Dzat Yang memerintah, melarang, menetapkan sesuatu serta mencabut sesuatu dari Makhluk-Nya. Allah memiliki kekuasaan yang mutlak. Begitu juga Allah swt adalah tempat bermuaranya semua pengaduan Makhluk. Dan semua yang datang mengadu kepada-Nya secara pasti akan diberikan jalan keluar dari masalahnya.
Begitulah yang mesti kita contoh dari sifat Allah, bahwa setiap kita juga harus menjadi al-Malik atau raja. Raja bagi dunia, bagi bangsa, bagi masyarakat, bagi keluarga atau setidaknya menjadi raja bagi diri kita sendiri. Menjadi raja dalam diri kita berarti kitalah yang memerintah, melarang, menetapkan atau mencabut sesuatu dari diri kita. Diri kita tidak diperintah oleh hawa nafsu, keinginan-keinginan yang rendah, iblis ataupun syitan.
Begitu juga, bahwa kita juga harus menjadikan diri kita tempat meminta dan mengadu bagi orang lain, disebabkan apa yang kita miliki, seperti harta, ilmu, keahlian dan sebagainya. Tidak salah memang kalau manusia meminta kepada orang lain. Akan tetapi, yang terbaik adalah menjadi tempat meminta seperti yang dikatakan Rasulullah saw. Bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah, begitulah sifat raja atau al-malik.
Kedua, Allah swt. Menyebut diri-Nya sebagai raja yang al-Quddus. al-Quddus secara harfiyah berati suci. Allah sebagai Raja adalah raja yang suci, jauh dari aib, cacat, hal-hal yang kotor, kekejian dan sebagainya. Betapa banyak manusia, yang jikalau menjadi raja adalah raja yang kotor dan keji, seperti disebutkan dalam surat An-Naml [27]: 34
قَالَتْ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً وَكَذَلِكَ يَفْعَلُونَ
Artinya: “Dia berkata: "Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka merusak dan membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat.
Secara kebahasaan, setidaknya ada tiga hal yang menjadikan sesuatu itu quddus (suci). Pertama, kebenaran, kedua, keindahan, dan ketiga kebaikan. Allah sebagai Raja, jika memerintahkan sesuatu kepada makhluk-Nya pastilah perintah Allah itu selalu benar, indah dan kebaikan bagi makhluk tersebut. Jika Allah menetapkan dan memutuskan sesuatu untuk hamba-Nya, pastilah ketetapan dan keputusan Allah itu benar, indah dan berguna atau mengandung kebaikan. Begitulah quddus-Nya Allah.
Inilah sifat yang juga mesti kita ikuti sebagai makhluk, bahwa apapun yang akan kita katakan ataupun yang akan dilakukan mestilah memiliki sifat quddus, bahwa sesuatu itu harus benar, indah dan mengandung kebaikan. Oleh karena itu, jika kita hendak mengatakan sesuatu fikirkanlah apakah sudah benar yang dikatakan itu, atau apakah sudah indah cara kita menyampaikannya, atau seberapa besar manfaat dan kebaikan dari apa dikatakan itu. Begitu juga, jika kita hendak memperbuat sesuatu, maka fikirkanlah apakah perbutan itu sudah benar, sudah indah dan berguna baik bagi diri kita maupun bagi orang lain. Alangkah indahnya kehidupan manusia, jika semua orang selalu mencontoh sifat quddusnya Tuhan dalam setiap perkataan maupun perbuatan mereka. Tidak akan ada pertentangan, permusuhan, percekcokan, perkelahian apalagi pembunuhan jika manusia mencontoh sifat Quddus yang diperkenalkan Allah kepada Makhluk-Nya.
Ketiga, Allah swt. Memperkenalkan dirinya sebagai as-Salam yang secara harfiyah berati selamat, jauh dari cacat, aib dan kekurangan. Begitulah Allah, bahwa apapun yang didatangkan Allah kepada Makhluk-Nya pastilah berupa keselamatan. Andaikata itu berupa musibah, tetap saja itu merupakan kebaikan dan keselamatan. Sesuatu dipandang musibah hanyalah dikarenakan keterbatasan dan ketidakmampuan manusia dalam memahami Allah yang Maha Besar. Sebab, betapa banyaknya hal-hal yang datang kepada manusia menjadikan manusia menangis dan meratap di kala itu, namun setelah waktu berlalu barulah dia menyadari bahwa yang dulu ditangisi adalah kabaikan yang sekarang justru membuat dia menjadi tertawa.
Begitu juga Allah adalah Dzat yang jauh dari aib, cacat dan kekurangan. Dalam diri Tuhan tidak ada sifat, kikir, marah, dendam, malas dan sebagainya. Sebab, itu semua adalah aib dan kekuarangan. Dalam surat ar-Rahman [55]: 29, Allah swt berfirman
يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
Artinya: “Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.
Begitulah Allah swt sebagai Dzat yang selalu punya kesibukan dan tidak pernah mengenal waktu kosong dan luang. Sebagai salah satu bentuk sifat as-Salam, jauh dari aib dan cacat serta kekurangan. Kita mencontoh as-salam Tuhan, bahwa kita berupaya sekuat tenaga membuang segala sifat-sifat negatif dalam diri kita, seperti sifat kikir, marah, dendam, pemalas dan sebagainya.
Keempat, Allah swt, memperkenalkan sifat-Nya sebagai al-Mu’min yang berarti pemberi rasa aman. Allah bukan hanya selamat diri-Nya dari segala aiab dan kekuarangan, tetapi lebih jauh Allah adalah pemberi rasa aman bagai semua makhluk-Nya. Begitulah yang ditegaskan-Nya dalam surat al-Quraisy [106]: 4
الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَءَامَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ
Artinya: “Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.
Begitulah sifat Allah yang semestinya kita contoh, bagaimana kita menjadi makhluk yang mampu memberikan rasa aman kepada siapapun. Seorang yang mukmin tidak hanya sekedar amanah dan bisa dipercaya, tetapi lebih jauh mampu menjamin keamanan kepada siapapun yang meminta rasa aman. Seorang pegawai yang mukmin adalah pegawai yang tidak hanya bisa jujur dalam bekerja ketika diawasi, tetapi dia juga bisa bekerja dengan penuh kejujuran sekalipun tanpa pengawasan. Sebab, dia selalu yakin kalau Allah selalu menyertainya dalam setiap apapun yang dilakukan.
Kelima, Allah memperkenalkan sifat-Nya sebagai al-Muhaimin yang berarti Pengawas dan Pemelihara. Allah bukan hanya pemberi keselamatan dan rasa aman, tetapi Allah juga mengawasi dan memelihara makhluk-Nya. Oleh karena itulah, di alam ini dikenal istilah sunnatullah dan inayatullah. Jika terjadi kecelakaan pesawat terbang, maka sunnatullahnya semua penumpang mati. Akan tetapi, jika ada penumpang yang selamat bahkan tidak terluka sedikitpun, maka ketika itu dia mendapat inayatullah atau pertolongan Allah melalui pengawasan dan pemeliharaannya. Bukankah Allah mengatakan, Bahwa tidak ada satupun jiwa kecuali telah disediakan untuknya malaikat yang akan menjaga dan memeliharanya. Lihat surat at-Thariq [86]: 4
إِنْ كُلُّ نَفْسٍ لَمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌ
Artinya: “tidak ada suatu jiwapun (diri) melainkan ada penjaganya.
Begitulah sifat Allah yang mesti kita contoh, kita tidak hanya mampu memberikan rasa aman, tetapi juga bisa mengawasi dan menjaga apa yang diamanahkan kepada kita. Jika seseorang tidak membuang sampah di sembarang tempat atau dia bersedia memungut sampah di tempat umum, maka dia berhak disebut mukmin. Akan tetapi, jika ada orang lain yang membuang sampah di tempat umum di hadapan matanya dan dia membiarkan saja, maka ketika itu dia tidaklah bisa disebut muhaimin. Sebab dia tidak bisa menjadi pengawas atau pemelihara agar sampah tidak bertebaran di tempat umum. Begitulah bentuk muhaimin yang semestinya kita contoh dari Allah.
Keenam, Allah memperkenalkan sifat-Nya sebagai al-Aziz yang Maha Perkasa dalam artian bahwa Allah adalah Dzat yang tidak pernah bisa dikalahkan. Allah swt, tidak akan pernah dikalahkan oleh siapun dan sampai kapanpun. Begitulah sefat yang juga semestinya kita miliki dalam menjalani kehidupan di dunia ini yang sudah ditakdirkan sebagai kehidupan yang penuh kompetisi dan persaingan. Bagaimana kita dalam persaingan hidup berupaya untuk tidak pernah dikalahkan oleh siapaun, sekalipun dalam setiap persaingan pasti ada yang kalah dan yang menang. Namun, sebagai makhluk yang mencontoh al-aziz nya Allah, berupayalah menjadi makhluk yang tidak pernah dikalahkan oleh siapapun dan kapanpun.
Ketujuh, Allah memperkenalkan sifat-Nya sebagai al-Jabbar yang berarti maha Berkuasa. Al-Jabbar secara harfiyah berarti Yang Kuat dan Memaksa, sehingga kata ini kemudian diartikan sebagai Dzat yang mampu mengalahkan siapapun. Allah bukan hanya tidak terkalahkan, namun juga mampu mengalahkan siapapun. Begitulah sifat yang semestinya kita ikuti sebagai makhluk, bahwa kita bukan hanya makhluk yang tidak terkalahkan, namun mampu mengalahkan siapun yang menjadi pesaing kita. Seseorang yang memiliki sifat al-Jabbar dalam kapasitasnya sebagi makhluk, tidak akan pernah kembali membawa kekalahan. Dia harus pulang dengan membawa kemenangan yang gemilang.
Setelah menyebutkan tujuh sifat yang penuh kemuliaan, Allah menutup sifat-Nya dalam ayat di atas dengan menyebut diri-Nya sebagai al-Mutakabbir yaitu Dzat yang Maha Besar dan Agung. Hal itu berarti, jika semua hal yang disebutkan telah dimiliki seseorang; mampu menjadi raja, suci, selamat, memberi rasa aman, menjaga dan mengawasi, tidak pernah terkalahkan, mampu mengalahkan siapapun, pastilah seseorang akan menjadi orang besar (al-Mutakabbir) dan pastilah semua orang akan mengagumi dan mnghormatinya. Begitulah kenapa ayat ini diakhiri dengan ungkapan ta’ajjub (kagum) kepada Allah dengan ungkapan Subhanallah/ Maha Suci Allh.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar disini !